Halaman

    Social Items

Mengenal Sosok Tabi’in Ar-Rabi bin Khutsaim--TAULADAN UMMAT YANG SPEKTAKULER

Firman Alloh:

3.Āli 'Imron : 92

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Alloh Maha mengetahui.


Hilal bin Isaf bercerita kepada tamunya yang bernama Mundzir ats-Tsauri: “Tidakkah sebaiknya kuantarkan engkau kepada syaikh agar kita bisa menambah keimanan sesaat?” Jawab Mundzir: “Baik, aku setuju. Demi Alloh, tiada yang mendorong aku datang ke Kufah ini melainkan karena ingin bertemu dengan gurumu, Rabi’ bin Khutsaim dan rindu untuk bisa tinggal sesaat dalam taman iman bersamanya. Akan tetapi apakah engkau sudah minta izin kepadanya? Kudengar dia menderita penyakit rematik sehingga tidak keluar rumah dan enggan menerima tamu?”

Hilal berkata, “Memang begitulah orang-orang Kufah mengenalnya, sakitnya itu tidak mengubahnya barang sedikit pun.” Mundzir berkata, “Baiklah. Tetapi Anda tahu bahwa syaikh ini memiliki perasaan yang halus, apakah menurut Anda kita layak mendahului bicara dan bertanya sesuka kita? Atau kita diam saja menunggu beliau mulai bicara?”

Hilal menjawab, “Andaikata engkau duduk bersama Rabi’ bin Khutsaim selama setahun lamanya, maka dia tidak akan bicara apapun kecuali jika engkau yang mulai berbicara dan akan terus diam bila tidak kau dahului dengan pertanyaan. Sebab dia menjadikan ucapannya sebagai dzikir dan diamnya untuk berpirkir.”

Mundzir berkata, “Kalau begitu, marilah kita mendatanginya dengan barakah Alloh Subhanahu wa Ta’ala.”

Kemudian pergilah keduanya kepada syaikh itu. Setelah memberi salam, mereka bertanya, “Bagaimana kabar Anda pagi ini wahai syaikh?”

Ar-Rabi’: “Dalam keadaan lemah, penuh dosa, memakan rezeki-Nya, dan menanti ajalnya.”

Hilal: “Sekarang di Kufah ini ada tabib yang handal. Apakah syaikh mengizinkan kami memanggilnya untuk Anda?”

Ar-Rabi’: Wahai Hilal, aku tahu bahwa obat itu adalah benar-benar berkhasiat. Tetapi aku belajar dari kaum Aad, Tsamud, penduduk Rass dan abad-abad di antara mereka. Telah kudapati bahwa mereka sangat gandrung dengan dunia, rakus dengan segala perhiasannya. Keadaan mereka lebih kuat dan lebih ahli dari kita. Di tengah-tengah mereka banyak tabib, namun tetap saja ada yang sakit. Akhirnya tak tersisa lagi yang mengobati maupun yang diobati karena binasa. (beliau menghela nafas panjang dan berkata), seandainya itulah penyakitnya, tentulah aku akan berobat.”

Mundzir: “Kalau demikian, apa penyakit yang Anda derita wahai Syaikh?”

Ar-Rabi’: “Penyakitnya adalah dosa-dosa.”

Mundzir: “Lantas, apa obatnya?”

Ar-Rabi’: “Obatnya adalah *istighfar.”*

Mundzir: “Bagaimana bisa pulih kesehatannya?”

Ar-Rabi’: “Dengan bertaubat, kemudian tidak mengulangi dosanya (Beliau menatap kedua tamunya sambil berkata), dosa yang tersembunyi… dosa yang tersembunyi… *waspadalah kalian terhadap dosa yang meski tersembunyi dari orang-orang, namun jelas bagi Alloh Subhanahu wa Ta’ala,* segeralah datangkan obatnya!”

Mundzir: “Apa obatnya?”

Ar-Rabi’: “Dengan taubat nasukha (lalu beliau menangis hingga basah jenggotnya).”

Mundzir: “Mengapa Anda menangis wahai Syaikh?”

Ar-Rabi: “Bagaimana aku tidak menangis? Aku pernah berkumpul bersama suatu kaum (yakni para sahabat Nabi) di mana kedudukan kami dibanding mereka seakan sebagai pencuri.”

Hilal bercerita: “Ketika kami asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah seorang putranya, setelah memberi salam dia berkata:

“Wahai ayah, ibu membuatkan roti yang manis dan lezat agar ayah mau memakannya, berkenankah ayah jika aku bawakan kemari?” Beliau berkata, “Bawalah kemari.” Pada saat putranya keluar, terdengar orang meminta-minta mengetuk pintu. Syaikh itu berkata, “Suruhlah dia masuk.”

Ternyata dia adalah seorang tua yang berpakaian compang-camping. Air liurnya belepotan kesana kemari, terlihat dari wajahnya bahwa dia tidak begitu waras. Saya terus memperhatikan hingga kemudian masuklah putra Syaikh Rabi membawa roti di tangannya. Ayahnya langsung mengisyaratkan agar roti tersebut diberikan kepada orang yang meminta-minta tersebut.

Roti itu diletakkan di tangan pengemis tersebut. Sesegera mungkin orang itu memakannya dengan lahap. Air liurnya mengalir di sela-sela roti yang dimakannya. Dia melahapnya hingga habis tanpa sisa.

Putra Syaikh yang membawakan roti tersebut berkata, “Semoga Alloh merahmati Ayah, ibu telah bersusah payah untuk membuat roti itu untuk Ayah, kami sangat berharap agar Ayah sudi menyantapnya, namun tiba-tiba Ayah berikan roti itu kepada orang linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya.” Syaikh menjawab, “Wahai putraku, jika dia tahu, maka sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu.” Kemudian beliau membaca firman Alloh:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian [yang sempurna], sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imron: 92)

TAULADAN UMMAT YANG SPEKTAKULER

Mengenal Sosok Tabi’in Ar-Rabi bin Khutsaim--TAULADAN UMMAT YANG SPEKTAKULER

Firman Alloh:

3.Āli 'Imron : 92

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Alloh Maha mengetahui.


Hilal bin Isaf bercerita kepada tamunya yang bernama Mundzir ats-Tsauri: “Tidakkah sebaiknya kuantarkan engkau kepada syaikh agar kita bisa menambah keimanan sesaat?” Jawab Mundzir: “Baik, aku setuju. Demi Alloh, tiada yang mendorong aku datang ke Kufah ini melainkan karena ingin bertemu dengan gurumu, Rabi’ bin Khutsaim dan rindu untuk bisa tinggal sesaat dalam taman iman bersamanya. Akan tetapi apakah engkau sudah minta izin kepadanya? Kudengar dia menderita penyakit rematik sehingga tidak keluar rumah dan enggan menerima tamu?”

Hilal berkata, “Memang begitulah orang-orang Kufah mengenalnya, sakitnya itu tidak mengubahnya barang sedikit pun.” Mundzir berkata, “Baiklah. Tetapi Anda tahu bahwa syaikh ini memiliki perasaan yang halus, apakah menurut Anda kita layak mendahului bicara dan bertanya sesuka kita? Atau kita diam saja menunggu beliau mulai bicara?”

Hilal menjawab, “Andaikata engkau duduk bersama Rabi’ bin Khutsaim selama setahun lamanya, maka dia tidak akan bicara apapun kecuali jika engkau yang mulai berbicara dan akan terus diam bila tidak kau dahului dengan pertanyaan. Sebab dia menjadikan ucapannya sebagai dzikir dan diamnya untuk berpirkir.”

Mundzir berkata, “Kalau begitu, marilah kita mendatanginya dengan barakah Alloh Subhanahu wa Ta’ala.”

Kemudian pergilah keduanya kepada syaikh itu. Setelah memberi salam, mereka bertanya, “Bagaimana kabar Anda pagi ini wahai syaikh?”

Ar-Rabi’: “Dalam keadaan lemah, penuh dosa, memakan rezeki-Nya, dan menanti ajalnya.”

Hilal: “Sekarang di Kufah ini ada tabib yang handal. Apakah syaikh mengizinkan kami memanggilnya untuk Anda?”

Ar-Rabi’: Wahai Hilal, aku tahu bahwa obat itu adalah benar-benar berkhasiat. Tetapi aku belajar dari kaum Aad, Tsamud, penduduk Rass dan abad-abad di antara mereka. Telah kudapati bahwa mereka sangat gandrung dengan dunia, rakus dengan segala perhiasannya. Keadaan mereka lebih kuat dan lebih ahli dari kita. Di tengah-tengah mereka banyak tabib, namun tetap saja ada yang sakit. Akhirnya tak tersisa lagi yang mengobati maupun yang diobati karena binasa. (beliau menghela nafas panjang dan berkata), seandainya itulah penyakitnya, tentulah aku akan berobat.”

Mundzir: “Kalau demikian, apa penyakit yang Anda derita wahai Syaikh?”

Ar-Rabi’: “Penyakitnya adalah dosa-dosa.”

Mundzir: “Lantas, apa obatnya?”

Ar-Rabi’: “Obatnya adalah *istighfar.”*

Mundzir: “Bagaimana bisa pulih kesehatannya?”

Ar-Rabi’: “Dengan bertaubat, kemudian tidak mengulangi dosanya (Beliau menatap kedua tamunya sambil berkata), dosa yang tersembunyi… dosa yang tersembunyi… *waspadalah kalian terhadap dosa yang meski tersembunyi dari orang-orang, namun jelas bagi Alloh Subhanahu wa Ta’ala,* segeralah datangkan obatnya!”

Mundzir: “Apa obatnya?”

Ar-Rabi’: “Dengan taubat nasukha (lalu beliau menangis hingga basah jenggotnya).”

Mundzir: “Mengapa Anda menangis wahai Syaikh?”

Ar-Rabi: “Bagaimana aku tidak menangis? Aku pernah berkumpul bersama suatu kaum (yakni para sahabat Nabi) di mana kedudukan kami dibanding mereka seakan sebagai pencuri.”

Hilal bercerita: “Ketika kami asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datanglah seorang putranya, setelah memberi salam dia berkata:

“Wahai ayah, ibu membuatkan roti yang manis dan lezat agar ayah mau memakannya, berkenankah ayah jika aku bawakan kemari?” Beliau berkata, “Bawalah kemari.” Pada saat putranya keluar, terdengar orang meminta-minta mengetuk pintu. Syaikh itu berkata, “Suruhlah dia masuk.”

Ternyata dia adalah seorang tua yang berpakaian compang-camping. Air liurnya belepotan kesana kemari, terlihat dari wajahnya bahwa dia tidak begitu waras. Saya terus memperhatikan hingga kemudian masuklah putra Syaikh Rabi membawa roti di tangannya. Ayahnya langsung mengisyaratkan agar roti tersebut diberikan kepada orang yang meminta-minta tersebut.

Roti itu diletakkan di tangan pengemis tersebut. Sesegera mungkin orang itu memakannya dengan lahap. Air liurnya mengalir di sela-sela roti yang dimakannya. Dia melahapnya hingga habis tanpa sisa.

Putra Syaikh yang membawakan roti tersebut berkata, “Semoga Alloh merahmati Ayah, ibu telah bersusah payah untuk membuat roti itu untuk Ayah, kami sangat berharap agar Ayah sudi menyantapnya, namun tiba-tiba Ayah berikan roti itu kepada orang linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya.” Syaikh menjawab, “Wahai putraku, jika dia tahu, maka sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu.” Kemudian beliau membaca firman Alloh:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian [yang sempurna], sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imron: 92)
Load Comments

Subscribe Our Newsletter