Halaman

    Social Items

MENCINTAI ORANG LAIN MELEBIHI DIRINYA SENDIRI

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
   
MENCINTAI ORANG LAIN MELEBIHI DIRINYA SENDIRI--Dalam Islam ada kaidah yang diperbolehkan kita mencintai, menolong saudara Muslimnya melebihi dari dia mencintai dan menolong dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71).
Rasulullah saw bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ . رواه البخارى ومسلم
Tidak beriman salah seorang dari kamu sekalian, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.

Imam as-Suhaymi dalam menafsiri hadits di atas mengatakan bahwa iman seseorang tidak sempurna sehingga ia mencintai untuk setiap saudara, meskipun kafir, tanpa mengistimewakan kecintaannya kepada seseorang melebihi orang lain, apa yang dicintai untuk dirinya sendiri, seperti ketaatan dan kesenangan-kesenangan dunia yang mubah. 

Artinya, hendaklah engkau berbuat apa saja untuk seseorang seperti engkau menyukai seseorang berbuat apa saja untukmu. Engkau memperlakukan ia dengan perlakuan yang engkau sukai agar ia memperlakukan engkau. Engkau menasihati dia seperti engkau menasihati dirimu sendiri. Engkau menghukum ia dengan hukum yang engkau sukai agar ia menghukum engkau. Engkau tidak membalas perbuatannya yang menyakitimu. Engkau tidak mengurangi kehormatannya. Jika engkau melihat ia melakukan kebaikan, hendaklah kebaikannya engkau tampakkan. Namun jika engkau melihat ia melakukan hal jelek, engkau tutupi.


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٖ مِّنۡهُۖ وَيُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱللَّهِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٢٢
“Tidak akan engkau dapati bahwa suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah mengokohkan keimanan dalam hati mereka, menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, dan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Mujadilah: 22)

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: 
Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan mengatakan, “Sungguh saya ditimpa kesulitan hidup.” Maka Rasulullah menuju istri-istrinya, namun beliau tidak mendapatkan dari mereka sesuatu apapun (yang bisa diberikan kepadanya). Maka Rosululloh Shollallahu `alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa yang mau menjamu orang ini pada malam ini?” Berkata seorang Anshar, “Saya, wahai Rasulullah.” Orang Anshar tersebut datang kepada istrinya lalu mengatakan, “(Ini adalah) tamu Rasulullah. Janganlah kamu menyimpan sesuatu (yang harus disuguhkan kepadanya).” Istrinya mengatakan, “Demi Alloh, tidak ada padaku kecuali makanan untuk anak-anak.” Suaminya berkata, “Bila anak-anak ingin makan maka tidurkanlah mereka, dan kemarilah kamu (membawa hidangan) lalu matikan lampu. (Tidak mengapa) malam ini kita lapar.” Istrinya menjalankan perintah suaminya. Pada keesokan harinya orang Anshar itu pergi kepada Rosululloh Shollallahu `alaihi wa sallam maka beliau bersabda, “Sungguh Allah kagum/tertawa kepada fulan dan fulanah (seorang Anshar dan istrinya).” Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-Nya: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Al-Hasyr: 9) [Shahih Al-Bukhori no. 4889]

Pada tahun 18 Hijriyah, di masa pemerintahan Umar bin Khattab, terjadi kekeringan dan paceklik yang dahsyat di wilayah Hijaz (Madinah, Makkah, dan sekitarnya). Umar mengulurkan bantuan kepada orang-orang Badui berupa unta, gandum, dan minyak, sehingga apa yang ada di baitul mal habis. Beliau berdoa memohon kepada Allah agar diturunkan hujan. Allah pun mengabulkan permohonannya. Umar berkata: “Alhamdulillah, demi Alloh, seandainya Dia tidak melepaskan musibah kekeringan ini niscaya aku tidak membiarkan keluarga suatu rumah kaum muslimin yang mempunyai keluasan rezeki kecuali aku akan memasukkan bersama mereka sejumlah mereka dari orang-orang fakir. Karena tidak akan binasa dua orang apabila memakan makanan yang mencukupi satu orang.” (Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 438 dan Al-Bidayah wan Nihayah 7/103-105)

Kebijakan Umar sesuai dengan petunjuk Rasulullah n seperti dalam haditsnya:
طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي الْإِثْنَيْنِ وَطَعَامُ الْإِثْنَيْنِ يَكْفِي الْأَرْبَعَةَ وَطَعَامُ الْأَرْبَعَةَ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ
“Makanan satu orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang, dan makanan empat orang mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim dari sahabat Jabir)

Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan:
“Di antara tanda iman yang wajib adalah seseorang mencintai saudaranya yang beriman lebih sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Ia pun tidak ingin sesuatu ada pada saudaranya sebagaimana ia tidak suka hal itu ada padanya. Jika cinta semacam ini lepas, maka berkuranglah imannya.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:305).

Dari keterangan diatas, bisa diambil pelajaran bahwa kita dianjurkan dalam urusan agama dan kebaikan mendahulukan kepentingan umat/orang lain dibanding kebutuhan/kepentingan diri sendiri guna mendapatkan ridha Allah. Semoga bisa menginspirasi.
Load Comments

Subscribe Our Newsletter