Dari Masjid Jogokariyan ke Al Azhar: Konversi Kotak Infaq ke Kotak Wakaf-- Tulisan sini sebenarnya adalah materi diskusi di Masjid An-Nur, Rewwin, tidak jauh dari pintu Toll Bandara Juanda, Surabaya. Ketika itu saya diundang oleh Pak Muhammad Nadjikh, pendiri dan CEO PT Kelola Mina Laut. Tetapi saat itu Pak Nadjikh tidak mengundang dalam kapasitas sebagai CEO perusahaan yang dikenal juga dengan nama KML itu. Beliau mengundang sebagai ketua dewan pembina Yayasan Masjid An -Nur. Sebuah masjid tidak jauh dari rumah yang pernah ditinggalinya sebelum akhirnya pindah ke rumah sekarang yang di Surabaya Barat.
Masjid Jogokariyan yang perlu melanjutkan perannya dengan menjadi pelopor akumulasi aset. Selepas sholat isya pertengahan Juni 2019 itu saya diminta berbicara tentang bagaimana membangun ekonomi masyarakat berbasis masjid. Sebuah topik yang sangat menarik. Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla menyebut bahwa ada 800 ribu masjid yang telah terdata di Indonesia. Yang belum terdata tidak diketahui. Jumlah besar ini akan menjadi kekuatan pengungkit kesejahteraan masyarakat yang luar biasa jika dikelola dengan baik. Saya tuliskan pokok-pokok pemikiran mengenai topik ini dalam bentuk poin-poin.
Masjid mana di negeri ini yang bisa dijadikan benchmark dalam pengelolaan tempat ibadah kaum muslim ini? Majid Jogokariyan! Saya yakin inilah jawaban Anda dan banyak orang lain. Saya tidak akan membantahnya. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa Jogokariyan adalah teladan yang baik pengelolaan masjid dalam hal aspek kreativitas SDM. Takmirnya sangat kreatif inovatif sehingga masjid menjadi sangat makmur dan fungsional bagi masyarakat luas. Bahkan menginspirasi banyak orang.
Namun demikian, peran sebuah masjid sejatinya bukan hanya pada aspek kualitas SDM. Tetapi juga pada aspek akumulasi aset. Adanya ajaran zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf adalah buktinya. Dalam aspek ini Jogokariyan belum berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya. Lalu masjid mana yang bisa menjadi benchmark dalam aspek akumulasi dan pengelolaan aset? Di dunia ini belum ada duanya: Masjid Al Azhar, Qohiroh alias Kairo, Mesir.
Masjid Al Azhar didirikan tahun 972, tiga tahun setelah didirikannya kota Kairo modern oleh Dinasti Fatimiyah. Namanya diambil dari putri Nabi SAW Fatimah Azzahra. Berdirinya masjid pertama di Kairo ini juga diikuti dengan dimulainya aktivitaas pendikan yang kini dikenal sebagai Universitas Al Azhar. Apa kaitannya dengan pengelolaan dan akumulasi aset? Saat ini Al Azhar memiliki sekitar 2 juta siswa dan mahasiswa dari berbagai penjuru dunia. Menariknya, Universitas Al Azhar dikenal sebagai kampus yang obral beasiswa untuk para pelajar dari berbagai negara. Saya sempat menjadi guru matematika dan fisika di Pesantren Persis Bangil saat masih kuliah di ITS. Bagi murid-murid saya ketika itu, Universitas Al Azhar adalah kampus idaman. Salah satunya daya tariknya adalah karena beasiswanya. Kuliah gratis sampai lulus. Gus Dur adalah salah satu yang menerima manfaat dari Al Azhar.
Pertanyaannya, dari mana Al Azhar memperoleh dana untuk operasional kampus jika murid-muridnya tidak membayar uang SPP? Ini yang menarik. Sejak didirikan, Universitas Al Azhar terus-menerus melakukan pengumpulan aset wakaf. Aset itulah yang kemudian dikelola sebagai sebuah aset investasi dan menghasilkan dana untuk biaya operasional kampus. Untuk biaya gedung, laboratorium, alat tulis, gaji dosen, dan lain lain.
Wakaf berasal dari kata waqafa-yaqifu-waqfan yang bermakna menghentikan atau menahan. Harta wakaf harus ditahan atau dijaga keutuhannya. Tidak boleh dikurangi atau dihabiskan. Yang boleh diambil adalah manfaat dari aset tersebut.
Secara tradisional masyarakat sangat mengenal wakaf berupa aset properti atau tanah. Mewakafkan tanah untuk masjid, pesantren atau sekolah sudah dikenal luas oleh masyarakat. Inilah paradigma tradisional tentang wakaf. Untuk untuk konteks penguatan ekonomi berbasis masjid, yang dibutuhkan adalah paradigma modern dalam hal wakaf. Baca tulisan saya tentang perubahan paradigma ini di sini.
Wakaf modern inilah yang merupakan sisi kedua dari peran masjid yang belum dikerjakan oleh Jogokariyan dan masjid-masjid pada umumnya. Akibatnya waktu berlalu begitu saja tanpa terjadi akumulasi aset. Kita harus belajar dari Al Azhar untuk proses akumulasi aset wakaf ini. Begitu perkasanya, saya pernah mendengar dari kawan yang anaknya kuliah di sana bahwa Al Azhar bahkan pernah memberikan bantuan finansial kepada pemerintah Mesir. Artinya, dalam hal akumulasi dan pengelolaan aset, Al Azhar melebihi pemerintah
Saya sudah lama berusaha mencari laporan keuangan Al Azhar. Tetapi saya belum menemukannya. Mungkin karena keterbatasan saya dalam hal bahasa Arab. Namun demikian, sebagai benchmarkpengelolaan aset, ada dua perguruan tinggi yang juga jago dalam hal ini. Harvard University dan Yale University. Keduanya di USA. Masing-,masing mengelola aset wakat sekitar Rp 500 T dan Rp 400 T dengan hasil investasi tahunan masing masing sekitar Rp 50 T dan 40 T. Karena keduanya bukan dari kalangan muslim, maka istilahnya adalah endowment fund. Istilahnya berbeda. Tetapi mekanismenya sejatinya sama dengan wakaf. Intinya, masyarakat menyerahkan uang atau aset lain tidak untuk dimanfaatkan secara langsung sebagai biaya pendidikan atau Aset yang diserahkan dikelola sebagai investasi yang aman sesuai dengan konsep portofolio. Hasil atas investasi itu barulah digunakan untuk dana sosial. Baca tulisan saya khusus tentang hal ini di sini.
Aset wakaf itu kemudian diinvestasikan ke dunia bisnis yang sebagian besar adalah berupa saham di berbagai perusahaan. Inilah peran aset wakaf dalam penguatan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dalam jangka panjang akan menjadi salah satu pilar dari enam pilar pembebasan ekonomi bangsa, silakan baca selengkapnya di sini.
Mengumpulkan aset dari jamaah sudah biasa dilakukan oleh masjid dalam bentuk zakat, infaq dan shodaqoh. Dalam hal aset, semuanya bersifat konsumtif. Diterima oleh takmir (sebagai amil) langsung dibagikan atau dimanfaatkan habis sesuai syariat.
Walaupun tidak seintensif zakat infaq shodaqoh, mengumpulkan aset wakaf juga sudah dilakukan oleh banyak masjid. Tetapi wakaf yang dilakukan adalah bersifat untuk kepentingan operasional masjid. Para jamaah menyerahkan uang wakaf untuk membeli tanah perluasan fasilitas masjid misalnya. Jadi sifatnya bukan wakaf produktif yang bersifat aset investasi. Masih berparadigma wakaf tradisional. Tidak akan menghasilkan akumulasi aset seperti di Al Azhar, Harvard maupun Yale University.
Ada sebagian masjid yang untuk maksud berperan secara ekonomi mendirikan unit-unit bisnis seperti toko minimarket, restoran atau sejenisnya di sekitar masjid. Walaupun sudah menunjukkan semangat yang bagus, tetapi dalam percaturan bisnis modern yang berkarakter korporatisasi tidak akan menghasilkan peran signifikan. Bisnis modern harus memperhatikan fenomena crowding effect dan carrier choice effect. Baca tulisan detail saya di link tersebut. Dalam era crowding effect dan carrier choice effect, format peran masjid dalam ekonomi masyarakat adalah sebagai investor seperti yang dilakukan oleh Al Azhar, Harvard dan Yale University.
Secara filosofis, peran masjid dengan berbisnis secara langsung juga tidak tepat. Masjid akan menjadi pesaing bisnis sejenis di sekitar ketika skalanya masih kecil. Jika membesar juga akan menjadi pesaing bisnis sejenis yang berskala lebih besar. Misal saja masjid membuka mini market. Jika masih kecil mini market tersebut akan menjadi pesaing toko kelontong milik warga di sekitar masjid. Jika membesar menjadi jaringan mini market nasional pun akan menjadi pesaing perusahaan sejenis. Masjid tidak boleh bersaing dengan masyarakat. Masjid harus merangkul siapapun. Dan ini hanya mungkin dilakukan jika peran ekonomi masjid adalah sebagai investor dari dana wakaf. Inilah hikmah dilarangnya berdagang di masjid oleh Nabi SAW.
Bagaimana langkah konkritnya bagi sebuah masjid? Ada tiga langkah. Langkah pertama adalah pembenahan aspek legalitas. Masjid harus dikelola dalam format badan Atternatifnya bisa yayasan atau perkumpulan. Jika yayasan harus dipastikan dewan pembinanya tidak hanya satu. Paling tidak 3 atau 5 orang. Pilih orang-orang dengan reputasi dan kredibilitas yang cukup untuk posisi ini. Pembenahan aspek legal disebut cukup bila yayasan atau perkumpulan sudah bisa memiliki rekening bank, sudah bisa memiliki aset properti, dan sudah memiliki sertifikat nadzir dari BWI.
Langkah kedua adalah pembelian aset awal. Untuk ini yang aman dan direkomendasikan adalah pembelian aset properti berupa tanah atau gedung di kawasan bisnis. Begitu dibeli, tanah harus dibaliknamakan menjadi atas nama badan hukum takmir masjid. Tujuannya memilih kawasan bisnis adalah agar tidak ada kesulitan untuk mencari penyewa aset tersebut. Jangan sampai membeli aset properti yang sulit disewakan. Hasil sewa inilah yang menandakan dimulainya paradigma modern dalam wakaf.
Target dari langkah kedua adalah nilai hasil sewa aset cukup untuk biaya operasional masjid. Misalkan sebuah masjid berbiaya operasional Rp 100 juta per tahun. Targetnya adalah aset properti senilai sekitar Rp 2 Milyar. Hitungan sederhananya, nilai sewa tahunan rata-rata aset properti di kawasan bisnis adalah sekitar 5% dari nilai aset. Jika nilai aset adalah Rp 2 M maka nilai sewanya adalah Rp 100 juta per tahun. Uang sewa inilah yang akan digunakan untuk biaya operasional masjid. Dengan demikian, kotak-kotak infaq yang sebelumnya ada di masjid dapat dikonversi menjadi kotak wakaf.
Bagaimana perolehan dana pembelian aset? Takmir masjid bisa “menjual” kupon wakaf dengan satuan kecil. Misalkan Rp 100 ribu per lembar. Iming-iming untuk jamaah untuk membeli kupon adalah berupa pahala amal jariyah yang sesungguhnya. Sekali berwakaf sama dengan berinfaq menanggung biaya operasional masjid sampai kiamat. Inilah amal jariyah yang sebenarnya.
Untuk mempercepat transaksi, dana pembelian properti juga bisa diperoleh dari bank syariah melalui transaksi murabahah. Bank syariah membayar total uang pembelian aset lalu menjualnya kembali kepada takmir masjid dengan pembayaran diangsur. Untuk membayar angsuran ini takmir masjid bisa menggunakan kotak wakaf (hasil konversi kontak infaq) dan menjual kupon wakaf.
Untuk langkah kedua ini, takmir masjid juga bisa melakukannya secara bertahap. Misalnya pembelian aset Rp 2 M dirasakan terlalu berat, bisa dibagi menjadi empat tahap masing-masing Rp 500 juta. Tentu saja nilai sewanya pada tahap pertama juga akan menjadi hanya sekitar Rp 25 juta. Dengan demikian hanya bisa menutup ¼ biaya operasional masjid. Konsekuensinya juga hanya ¼ dari total kotak infaq yang bisa dikonversi menjadi kotak wakaf. Jika masjid memiliki 4 kotak infaq misalnya, 1 yang dikonversi menjadi kotak wakaf. Sisanya, 3, tetap menjadi kotak infaq. Setelah tahap pertama terbayar tuntas, barulah dilakukan tahap kedua, ketiga dan keempat.
Langkah ketiga adalah peran penumbuhan ekonomi. Karena biaya operasional masjid sudah bisa tertutup dari aset properti, artinya aspek dasar keamanan investasi sudah dilakukan oleh takmir masjid. Selanjutnya adalah bagaimana berperan sebagai penyedia dana ekspansi perusahaan-perusahaan yang produknya dibutuhkan masyarakat sekitar dan selanjutnya masyarakat luas. Skema yang terbukti aman sepanjang 200 tahun sejarah bisnis dunia adalah berupa syirkah modern dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas. Mekanismenya adalah dengan penerbitan saham baru oleh perusahaan-perusahaan yang sudah membuktikan kinerjanya pertumbuhan omzet dan laba paling tidak lima tahun. Saham baru itu dibayar oleh takmir dengan dana wakaf. Dimulai dari perusahaan-perusahaan sekitar yang pengelola (direksinya) dikenal kredibilitasnya oleh takmir dan selanjutnya perusahaan-perusahaan dalam ruang lingkup yang lebih luas termasuk perusahaan publik. Menumbuhkan ekonomi dengan keamanan aset yang tinggi. Keamanan terus dijaga melalui penerapan dengan ketat konsep portofolio. Tidak boleh meletakkan telur pada satu keranjang. Lebih jelasnya bisa dibaca pada tulisan saya tentang investment company ini. Bayangkan jika upaya ini dilakukan oleh 800 ribu masjid se-Indonesia. Potensinya ribuan triliun.
Dengan langkah ketiga ini, pendapatan masjid dari hasil investasi aset wakaf akan makin kuat. Masjid pun bisa menggaji imam, muadzin dan para ustadz untuk berkarya secara full time di masjid dengan gaji tinggi. Mereka akan all outmengembangkan layanan dakwah dan sosial di masjid dengan gaji yang tinggi dan terhindar dari dilema gaji dari kotak infaq. Digaji rendah tidak cukup untuk hidup layak sebagaimana SDM terbaik yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Digaji tinggi pun sungkan karena berasal dari uang infaq jamaah. Dilema ini akan sama sekali hilang jika gaji besarnya berasal dari hasil investasi aset wakaf.
Lebih lanjut, masjid juga bisa menyelenggarakan layanan pendidikan seperti yang dilakukan oleh Al Azhar Kairo. Memberi beasisiswa penuh kepada para siswa dan mahasiswanya dengan guru dan dosen sepenuhnya digaji dari perolehan investasi aset wakaf. Layanan jamaah lain seperti layanan kesehatan bisa dilakukan tanpa memungut biaya. Layanan masjid tumbuh seiring tumbuhnya perusahaan-perusahaan tempat aset wakaf ditempatkan sebagai saham dalam syirkah modern berbadan hukum perseroan terbatas
Anda aktivis atau takmir masjid? Bisa menangkap penjelasan di atas kan? Selanjutnya, ilmu dan pengetahuan apapun tidak ada gunanya kecuali diaplikasikan. Mari bekerja keras mengaplikasikannya sebagai bagian dari upaya kita membangun manfaat dan pahala yang tiada pernah berhenti. Manfaat dan pahala amal jariyah. Aamin.
*)Ditulis di Surabaya pada tanggal 11 Juli 2019 oleh Iman Supriyono, direktur dan konsultan senior pada SNF Consulting