بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
MANAJEMEN WAKTU MENURUT ISLAM-- Pengertian Manajemen adalah sebuah proses untuk mengatur sesuatu yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut dengan cara bekerja sama memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.
Sedangkan manajemen waktu adalah cara yang dapat anda lakukan untuk menyeimbangkan waktu anda untuk kegiatan belajar atau bekerja, bersenang-senang atau bersantai, dan beristirahat secara efektif. Tanpa disadari, setiap saat anda sesungguhnya telah membuat beberapa putusan terkait manajemen waktu.
Firman-Alloh SWT terkait manajemen waktu adalah sebagai berikut:
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [al-‘Ashr/103:1-3].
Sedangkan Nabi Muhammad bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu anhuma, dia berkata: Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhori, no. 5933].
Al-Hasan berkata:
اِبْنَ آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ وَلَسْتَ بِغَدٍّ فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ
Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini.
Waktu Yang Berlalu Tidak Pernah Kembali.
Abu Bakar ash-Shiddîq Rodhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ
Sesungguhnya Alloh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Alloh juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang. [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, no. 37056].
Di antara bentuk kerugian tidak memfaatkan waktu adalah:
1. Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk yang paling sempurna. Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan/ dzikir yang kurang utama, padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.
2. Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama, yang memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya adalah dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.
3. Dia mengisinya dengan perkara yang haram, ini adalah orang yang paling tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan kesempatan memanfaatkan waktu dengan perkara yang bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan ia menyibukkan waktunya dengan perkara yang akan menggiringnya kepada hukuman Alloh di dunia dan di dunia dan akhirat.
Kiat menyikapi waktu
a. Wajib melihat masa lalu. Melihat ke masa lalu, dimaksudkan untuk mengambil pelajaran dengan segala peristiwa yang terjadi pada masa tersebut. Menerima nasihat dengan kejadian yang dialami umat saat itu dan sunnatullah terhadapa mereka, sebab masa lalu merupakan wadah peristiwa dan khazanah pelajaran.
b. Melihat masa depan. Melihat ke masa depan memang hal wajib, sebab manusia itu sesuai dengan fitrahnya senantiasa terikat ke masa depan. Ia tak akan dapat melupakannya atau menyembunyikannya di balik kedua telinganya. Sebagaimana manusia itu diberi rezeki ingatan yang menghubungkannya dengan masa lalu dan apa yang terjadi di dalamnya, maka ia pun diberi rezeki upaya menggambarkan masa depan dan apa yang akan diharapkan.
c. Memperhatikan masa kini. Seorang mukmin berkewajiban melihat ke masa lalu untuk mengambil pelajaran, mengambil manfaat, dan mawas diri. Di samping itu, juga perlu melihat masa depan untuk mempersiapkan perbekalan. Maka, ada kewajiban untuk memperhatikan masa kini, yaitu masa di mana secara nyata kita sedang menjalani dan menghayatinya, agar kita dapat menggunakannya sebelum lepas dan tersia-sia.
Landasan-landasan Manajemen Waktu
1. Pengetahuan kaidah yang rinci tentang optimalisasi waktu. Setiap muslim hendaknya memahami dan mengetahui kaidah-kaidah yang rinci tentang cara mengoptimalkan waktunya. Hal ini bertujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan dirinya dan orang lain. Tokoh-tokoh seperti Imam Ibnul Jauzi, Imam Nawawi, dan Imam Suyuthi adalah orang-orang yang menjadi teladan bagi orang-orang yang bisa mengoptimalkan waktu semasa hidupnya.
2. Memiliki manajemen hidup yang baik. Setiap muslim haruslah pandai mengatur segala urusan hidupnya dengan baik, menghindari kebiasaan yang tak jelas, matang dalam pertimbangan dan mempunyai perencanaan sebelum melakukan pekerjaan. Ia harus berpikir, membuat program, mempersiapkan, mengatur dan melaksanakannya.
3. Memiliki Wudhuhul Fikrah. Seorang muslim haruslah memiliki keluasan atau fleksibilitas dalam berpikir, seperti mampu berpikir benar sebelum bertindak, berpengetahuan luas, mampu memahami substansi pemikiran dan paham. Hal itu penting sebagai dasar pengembangan berpikir ilmiah.
4. Visioner. Seorang muslim juga harus memiliki pandangan jauh ke depan, bisa mengantisipasi berbagai persoalan yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang.
5. Melihat secara utuh setiap persoalan. Setiap orang yang dapat mengatur waktunya secara optimal, tidak melihat masalah secara parsial. Karena bisa jadi, sebuah persoalan memiliki kaitan dengan persoalan yang lainnya.
6. Mengetahui Perencanaan dan skala prioritas. Mengetahui urutan ibadah dan prioritas, serta mengklasifikasi berbagai masalah adalah faktor penting dalam mengatur waktu agar menghasilkan kerja yang optimal. Dengan membuat skala prioritas, akan menghindarkan dari ketidakteraturan kegiatan.
7. Tidak Isti’jal dalam mengerjakan sesuatu. Mengerjakan sesuatu dengan tidak tergesa-gesa dan berdasar pada ketenangan jiwa yang stabil merupakan landasan yang penting dalam mewujudkan hidup yang lebih baik. Sementara, orang yang musta’jil menginginkan agar dalam waktu singkat ia mampu melakukan hal-hal yang terpuji, sekaligus meninggalkan hal-hal yang tidak terpuji. Hal ini jelas tidak sesuai dengan sunah kauniyah, yaitu hukum alam dan kebiasaan.
8. Berupaya seoptimal mungkin. Jika kita menginginkan terwujudnya aktivitas amal shalih, maka secara optimal kita harus mengarahkan diri pada persoalan itu sesuai kemampuan yang ada pada diri kita.
9. Spesialisasi dan pembagian pekerjaan. Setiap muslim haruslah memiliki keahlian tertentu. Ia boleh memiliki pengetahuan luas, tetapi ia juga perlu memfokuskan pada keahlian tertentu.