Firman Alloh :
81.At-Takwir : 14
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا أَحْضَرَتْ
Setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya
Di masa jahiliyah ia terikat janji dengan Aswad Abdu Yaghuts untuk diangkat sebagai anak hingga namanya berubah menjadi Miqdad bin Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kandungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya, yaitu Amr bin Sa'ad.
Miqdad bin Amr termasuk golongan yang pertama kali masuk Islam. Ia adalah orang ketujuh yang menyatakan keislaman secara terang-terangan dan rela menanggung penderitaan dan siksaan, serta kekejaman kaum Quraisy. Keberanian dan perjuangannya di medan Perang Badar akan selalu diingat oleh kaum Muslimin sampai saat ini.
Bahkan Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat Rosululloh pernah berkata, "Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini."
Miqdad bin Amr pernah tampil berbicara mengobarkan semangat di tengah ketakutan dan kegalauan kaum Muslimin dalam peperangan Badar karena kekuatan musuh yang begitu dahsyat. Miqdad berkata, "Wahai Rosululloh, teruslah laksanakan apa yang dititahkan Alloh, dan kami akan bersama anda. Demi Alloh, kami tidak akan berkata seperti apa yang dikatakan Bani Israil kepada Nabi Musa, 'Pergilah kamu bersama Roobmu dan berperanglah', sedang kami akan mengatakan kepada anda, 'Pergilah Engkau bersama Robbmu dan berperanglah, dan kami ikut berjuang di sampingmu'. Demi yang telah mengutus engkau membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan."
Kata-katanya mengalir laksana anak panah yang lepas dari busurnya. Hingga merasuk ke dalam hati orang-orang Mukmin. Dan wajah Rosululloh pun berseri-seri sementara mulutnya mengucapkan doa yang terbaik untuk Miqdad.
Dari ucapan yang dilontarkan Miqdad tadi, tidak saja menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam. Itulah sifat Miqdad. Ia seorang Ahli hikmah dan pemikir. Hikmah nya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh, tulus, dan lurus.
Pasukan Islam pun menjadi bersemangat mengikuti semangat Miqdad. Bahkan cara bicara Miqdad patut dicontoh oleh yang lain. Kata-kata Miqdad benar-benar berdampak positif kepada segenap pasukan Islam.
Sa’ad bin Muadz, pemuka kaum Anshar berkata, "Ya Rosululloh, sungguh, kami telah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan kami telah saksikan bahwa apa yang engkau bawa adalah benar. Kami juga sudah bersumpah setia kepadamu. Karena itu, majulah wahai utusan Alloh, kami akan bersamamu. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke lautan, lalu engkau mengarungi lautan itu, tentu kami juga akan mengarunginya. Tidak seorang pun akan berpaling. Kami akan bersamamu berperang melawan musuh. Kami adalah orang-orang yang gagah berani dalam peperangan, tidak gentar menghadapi musuh. Alloh akan memperlihatkan kepadamu kiprah kami dalam peperangan yang akan berkenan di hatimu. Karena itu, maju terus, kami akan bersamamu. Berkah Alloh akan bersama kita."
Rosululloh sangat senang. Beliau bersabda kepada para pengikutnya, "Berangkatlah dan bergembiralah!"
Dan kedua pasukan pun berhadapan. Jumlah anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin Amr, Martsad bin Abi Martsad, dan Zubair bin Awwam; sementara yang lain berjalan kaki atau menunggang unta.
Ia pernah diangkat oleh Rosululloh sebagai Gubernur di suatu wilayah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya, "Bagaimana dengan jabatanmu?"
Ia menjawab dengan jujur, “Engkau telah menjadikanku menganggap diri ini di atas rakyat sedang mereka di bawahku. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, mulai saat ini saya tidak akan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang."
Ia menjadi gubernur, lalu dirinya dikuasai kemegahan dan pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi gubernur lagi setelah pengalaman pahit itu. Dan ia menepati janjinya itu. Sejak saat itu, ia tak pernah menerima jabatan pemimpin.
Ia sering mengucapkan sabda Nabi Shollallohu alaihi wassalam yang berbunyi, "Orang yang berbahagia ialah orang yang dijauhkan dari kehancuran."
Jika jabatan kepemimpinan dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan kehancuran bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya ialah menjauhinya.