Halaman

    Social Items

samiri

Taubatnya Kaum Nabi Musa 'alaihissalam yang Sangat Mengerikan--Pada Surat Al Baqarah ayat 49-53, di­jelaskan bagaimana Nabi Musa as diutus oleh Allah untuk memim­pin dan membebaskan Bani Israil dari kekejaman Fir’aun dan bala tentaranya yang telah me­­nyiksa dan memperbudak mereka, bahkan menyembelih setiap anak laki-laki mereka yang baru lahir. Tapi sayangnya, pertolongan Allah yang sangat besar dan luar biasa itu cepat dilu­pakan oleh Bani Israil. Padahal mukjizat besar telah di­per­lihatkan oleh Allah me­lalui Nabi Musa, untuk menyela­mat­kan Bani Israil dari kejaran Firaun dan bala tentaranya, diantaranya terbelahnya laut Merah sehingga membentanglah jalan ra­ya yang menyelamatkan mereka menye­be­rang ke Sinai dan membinasakan Firaun dan bala tentaranya yang tengge­lam di lautan itu, karena kembali mengatup ketika mereka sedang berada di tengah-tengahnya.

Ketika Nabi Musa AS dipanggil Allah ke Bukit Thursina selama empat puluh malam, untuk menerima wahyu kitab Taurat, Bani Israil tidak sabar menunggu kitab suci itu. Mereka segera melupakan Nabi Musa dan ajaran tauhidnya, dan mengikuti ajakan As-Samiri untuk mem­buat patung anak sapi dari emas lalu menyembahnya. Namun demikian, Allah masih memberi maaf kepada mereka, karena Allah adalah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang, karenanya diharapkan mereka dapat menyadari betapa banyak nikmat Allah yang harus disyukuri.

Diriwayatkan dari al-Hasan, Nabi Musa ‘alaihissalam suatu ketika pernah menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala guna memohon agar Dia berkenan menerima taubat kaumnya yang telah menyembah anak sapi.  Pada surat Al Baqarah ayat 54, Allah menjelaskan bagaimana cara taubat yang harus dilalui oleh Bani Israil yang telah melakukan kesalahan yang sangat besar, yaitu menjadikan patung anak sapi seba­gai tuhan dan menyembahnya. Cara tau­batnya adalah dengan membunuh diri sen­diri. Sebuah cara bertaubat yang sa­ngat berat dan keras.

Dalam Surat Al Baqarah ayat 54, Allah Ta’ala berfirman: 

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 54)


Nabi Musa menyuruh mereka ber­taubat dengan cara yang tidak biasa, yaitu membunuh diri sendiri. Jika dipahami secara harfiah, taubat dengan cara bunuh diri itu menimbulkan pertanyaan; Bukan­kah taubat itu dimaksudkan untuk mem­per­baiki diri, dengan kembali ke jalan yang benar setelah menyadari dan menye­sali kesalahan-kesalahan yang telah dila­kukan. Setelah meminta ampun kepada Allah SWT, seseorang yang sudah kem­bali ke jalan yang benar dianjurkan untuk memperbanyak perbuatan baik agar ke­sa­lahan-kesalahan masa lalunya tertutupi. Tentu tujuan memperbaiki diri itu tidak akan dapat diwujudkan kalau cara tau­batnya dengan membunuh diri.

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut: 
“Prosesi ini merupakan cara taubat yang Allah Ta’ala wajibkan kepada Bani Israil yang telah menjadikan anak sapi sebagai sesembahan. Dari Ibnu Abbas, dia berkata, Allah berfirman, ‘Sesungguhnya taubat mereka adalah, hendaknya setiap orang membunuh siapa pun yang ditemuinya, baik itu anak atau bapak, dia harus membunuhnya dengan pedang tanpa memperdulikan siapa yang terbunuh di tempat tersebut.’"

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: 
"Musa memerintahkan kaumnya –berdasarkan perintah Rabbnya– agar mereka membunuh diri mereka sendiri. Orang-orang yang menyembah anak sapi duduk, sementara orang-orang yang tidak melakukannya tetap berdiri, lalu mereka menyiapkan pisau di tangan masing-masing. Langit kemudian menjadi gelap, lalu sebagian membunuh sebagian yang lain. Ketika langit terang kembali, pembunuhan dihentikan dan yang terbunuh berjumlah tujuh puluh ribu orang. Siapa yang terbunuh diampuni dan siapa yang tidak terbunuh juga diampuni.’

Sebagian menafsirkan bahwa bunuh diri itu tidak dilaksanakan sendiri, melain­kan mereka semua yang terlibat menyem­bah patung anak sapi, saling membunuh satu sama lain. Sementara bagi yang ke­be­ratan bertaubat dengan cara bunuh diri tersebut, karena bertentangan dengan prinsip umum taubat, yaitu memperbaiki diri dengan cara kembali ke jalan yang benar, mereka menafsirkan bahwa cara taubatnya adalah tetap setia dan patuh kepada Nabi Musa AS serta tidak terlibat menyembah patung anak sapi membunuh saudaranya sendiri yang bersalah. Barulah Allah kemudian memaafkan dan mene­rima taubat mereka.

Selanjutnya Az-Zuhri berkata, 
"Ketika Bani Israil diperintahkan untuk membunuh diri mereka sendiri, mereka berkumpul beserta Musa, mereka saling tebas dengan pedang, saling tusuk dengan pisau, sedangkan Musa mengangkat kedua tangannya. Manakala sebagian telah membunuh sebagian yang lain, mereka berkata, ‘Wahai Nabi Allah, berdoalah kepada Allah untuk kami’. Mereka memegang kedua lengannya dan menyandarkan kedua tangannya. Mereka terus begitu sampai akhirnya Allah mengampuni mereka, maka mereka pun menahan tangannya dari yang lain, dan membuang senjata masing-masing. Musa dan Bani Israil merasa sedih terhadap orang-orang yang terbunuh dari mereka lalu Allah mewahyukan kepada Musa, ‘Apa yang membuatmu bersedih? Siapa yang terbunuh dari (kaum)mu maka mereka hidup di sisiKu dan diberi rizki. Adapun yang hidup, maka taubatnya telah diterima.’ Nabi Musa dan Bani Israil pun berbahagia dengan berita tersebut." (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas)

Diriwayatkan juga dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang menceritakan, ketika Musa ‘alaihis salam kembali kepada kaumnya, di antara mereka ada tujuh puluh orang yang beruzlah (mengasingkan diri) bersama Harun dan tidak menyembah anak lembu, maka Musa berkata kepada mereka (kaumnya), “Berangkatlah menuju janji Rabb kalian.” Lalu mereka pun berkata, “Hai Musa, apakah kami masih bisa bertaubat?” Musa menjawab, “Masih.” Allah perintahkan:

فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
 Maka mereka pun melepaskan pedang dari sarungnya, dan mengeluarkan alat-alat potong, juga pisau-pisau. Lalu Allah pun mengirim kabut kepada mereka, lalu mereka saling mencari-cari dengan tangannya masing-masing, lalu saling membunuh. Ada seseorang yang berhadapan dengan bapaknya atau saudaranya, lalu membunuhnya sedangkan ia dalam keadaan tidak mengetahuinya. Pada saat itu mereka saling berseru, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada hamba yang bersabar atas dirinya sampai ia mendapatkan ridha-Nya. Akhirnya mereka yang terbunuh gugur sebagai syuhada’, sedangkan orang-orang yang masih hidup diterima taubatnya.

Kemudian dibacakanlah firman Allah,
فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”  (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, 945, dengan sanad yang shahih)

Dalam syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, taubat dengan bunuh diri itu tidak ada lagi. Hal Ini adalah semacam rukhsah (keringanan) yang diberikan ba­gi umat Nabi akhir zaman ini. Salah sa­tu da­ri doa-doa dalam surat al-Baqarah ayat 286 berisi permohonan agar Allah tidak memberi beban yang tidak sang­gup dipikul, sebagaimana beban berat yang diberikan kepada umat sebelumnya.



 رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرً۬ا كَمَا حَمَلۡتَهُ ۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَا‌ۚ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami (Qs. al-Baqarah: 286)
Sebagian mufassir mengambil contoh bahwa beban berat itu adalah sebagai­mana taubat dengan cara bunuh diri yang dijelaskan pada ayat 54, walaupun pada ayat 286 itu tidak disebutkan beban berat mana yang dimaksud. Allahul musta'an

Kisah Taubatnya Kaum Nabi Musa AS

samiri

Taubatnya Kaum Nabi Musa 'alaihissalam yang Sangat Mengerikan--Pada Surat Al Baqarah ayat 49-53, di­jelaskan bagaimana Nabi Musa as diutus oleh Allah untuk memim­pin dan membebaskan Bani Israil dari kekejaman Fir’aun dan bala tentaranya yang telah me­­nyiksa dan memperbudak mereka, bahkan menyembelih setiap anak laki-laki mereka yang baru lahir. Tapi sayangnya, pertolongan Allah yang sangat besar dan luar biasa itu cepat dilu­pakan oleh Bani Israil. Padahal mukjizat besar telah di­per­lihatkan oleh Allah me­lalui Nabi Musa, untuk menyela­mat­kan Bani Israil dari kejaran Firaun dan bala tentaranya, diantaranya terbelahnya laut Merah sehingga membentanglah jalan ra­ya yang menyelamatkan mereka menye­be­rang ke Sinai dan membinasakan Firaun dan bala tentaranya yang tengge­lam di lautan itu, karena kembali mengatup ketika mereka sedang berada di tengah-tengahnya.

Ketika Nabi Musa AS dipanggil Allah ke Bukit Thursina selama empat puluh malam, untuk menerima wahyu kitab Taurat, Bani Israil tidak sabar menunggu kitab suci itu. Mereka segera melupakan Nabi Musa dan ajaran tauhidnya, dan mengikuti ajakan As-Samiri untuk mem­buat patung anak sapi dari emas lalu menyembahnya. Namun demikian, Allah masih memberi maaf kepada mereka, karena Allah adalah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang, karenanya diharapkan mereka dapat menyadari betapa banyak nikmat Allah yang harus disyukuri.

Diriwayatkan dari al-Hasan, Nabi Musa ‘alaihissalam suatu ketika pernah menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala guna memohon agar Dia berkenan menerima taubat kaumnya yang telah menyembah anak sapi.  Pada surat Al Baqarah ayat 54, Allah menjelaskan bagaimana cara taubat yang harus dilalui oleh Bani Israil yang telah melakukan kesalahan yang sangat besar, yaitu menjadikan patung anak sapi seba­gai tuhan dan menyembahnya. Cara tau­batnya adalah dengan membunuh diri sen­diri. Sebuah cara bertaubat yang sa­ngat berat dan keras.

Dalam Surat Al Baqarah ayat 54, Allah Ta’ala berfirman: 

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 54)


Nabi Musa menyuruh mereka ber­taubat dengan cara yang tidak biasa, yaitu membunuh diri sendiri. Jika dipahami secara harfiah, taubat dengan cara bunuh diri itu menimbulkan pertanyaan; Bukan­kah taubat itu dimaksudkan untuk mem­per­baiki diri, dengan kembali ke jalan yang benar setelah menyadari dan menye­sali kesalahan-kesalahan yang telah dila­kukan. Setelah meminta ampun kepada Allah SWT, seseorang yang sudah kem­bali ke jalan yang benar dianjurkan untuk memperbanyak perbuatan baik agar ke­sa­lahan-kesalahan masa lalunya tertutupi. Tentu tujuan memperbaiki diri itu tidak akan dapat diwujudkan kalau cara tau­batnya dengan membunuh diri.

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut: 
“Prosesi ini merupakan cara taubat yang Allah Ta’ala wajibkan kepada Bani Israil yang telah menjadikan anak sapi sebagai sesembahan. Dari Ibnu Abbas, dia berkata, Allah berfirman, ‘Sesungguhnya taubat mereka adalah, hendaknya setiap orang membunuh siapa pun yang ditemuinya, baik itu anak atau bapak, dia harus membunuhnya dengan pedang tanpa memperdulikan siapa yang terbunuh di tempat tersebut.’"

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: 
"Musa memerintahkan kaumnya –berdasarkan perintah Rabbnya– agar mereka membunuh diri mereka sendiri. Orang-orang yang menyembah anak sapi duduk, sementara orang-orang yang tidak melakukannya tetap berdiri, lalu mereka menyiapkan pisau di tangan masing-masing. Langit kemudian menjadi gelap, lalu sebagian membunuh sebagian yang lain. Ketika langit terang kembali, pembunuhan dihentikan dan yang terbunuh berjumlah tujuh puluh ribu orang. Siapa yang terbunuh diampuni dan siapa yang tidak terbunuh juga diampuni.’

Sebagian menafsirkan bahwa bunuh diri itu tidak dilaksanakan sendiri, melain­kan mereka semua yang terlibat menyem­bah patung anak sapi, saling membunuh satu sama lain. Sementara bagi yang ke­be­ratan bertaubat dengan cara bunuh diri tersebut, karena bertentangan dengan prinsip umum taubat, yaitu memperbaiki diri dengan cara kembali ke jalan yang benar, mereka menafsirkan bahwa cara taubatnya adalah tetap setia dan patuh kepada Nabi Musa AS serta tidak terlibat menyembah patung anak sapi membunuh saudaranya sendiri yang bersalah. Barulah Allah kemudian memaafkan dan mene­rima taubat mereka.

Selanjutnya Az-Zuhri berkata, 
"Ketika Bani Israil diperintahkan untuk membunuh diri mereka sendiri, mereka berkumpul beserta Musa, mereka saling tebas dengan pedang, saling tusuk dengan pisau, sedangkan Musa mengangkat kedua tangannya. Manakala sebagian telah membunuh sebagian yang lain, mereka berkata, ‘Wahai Nabi Allah, berdoalah kepada Allah untuk kami’. Mereka memegang kedua lengannya dan menyandarkan kedua tangannya. Mereka terus begitu sampai akhirnya Allah mengampuni mereka, maka mereka pun menahan tangannya dari yang lain, dan membuang senjata masing-masing. Musa dan Bani Israil merasa sedih terhadap orang-orang yang terbunuh dari mereka lalu Allah mewahyukan kepada Musa, ‘Apa yang membuatmu bersedih? Siapa yang terbunuh dari (kaum)mu maka mereka hidup di sisiKu dan diberi rizki. Adapun yang hidup, maka taubatnya telah diterima.’ Nabi Musa dan Bani Israil pun berbahagia dengan berita tersebut." (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas)

Diriwayatkan juga dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang menceritakan, ketika Musa ‘alaihis salam kembali kepada kaumnya, di antara mereka ada tujuh puluh orang yang beruzlah (mengasingkan diri) bersama Harun dan tidak menyembah anak lembu, maka Musa berkata kepada mereka (kaumnya), “Berangkatlah menuju janji Rabb kalian.” Lalu mereka pun berkata, “Hai Musa, apakah kami masih bisa bertaubat?” Musa menjawab, “Masih.” Allah perintahkan:

فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
 Maka mereka pun melepaskan pedang dari sarungnya, dan mengeluarkan alat-alat potong, juga pisau-pisau. Lalu Allah pun mengirim kabut kepada mereka, lalu mereka saling mencari-cari dengan tangannya masing-masing, lalu saling membunuh. Ada seseorang yang berhadapan dengan bapaknya atau saudaranya, lalu membunuhnya sedangkan ia dalam keadaan tidak mengetahuinya. Pada saat itu mereka saling berseru, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada hamba yang bersabar atas dirinya sampai ia mendapatkan ridha-Nya. Akhirnya mereka yang terbunuh gugur sebagai syuhada’, sedangkan orang-orang yang masih hidup diterima taubatnya.

Kemudian dibacakanlah firman Allah,
فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”  (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, 945, dengan sanad yang shahih)

Dalam syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, taubat dengan bunuh diri itu tidak ada lagi. Hal Ini adalah semacam rukhsah (keringanan) yang diberikan ba­gi umat Nabi akhir zaman ini. Salah sa­tu da­ri doa-doa dalam surat al-Baqarah ayat 286 berisi permohonan agar Allah tidak memberi beban yang tidak sang­gup dipikul, sebagaimana beban berat yang diberikan kepada umat sebelumnya.



 رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرً۬ا كَمَا حَمَلۡتَهُ ۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَا‌ۚ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami (Qs. al-Baqarah: 286)
Sebagian mufassir mengambil contoh bahwa beban berat itu adalah sebagai­mana taubat dengan cara bunuh diri yang dijelaskan pada ayat 54, walaupun pada ayat 286 itu tidak disebutkan beban berat mana yang dimaksud. Allahul musta'an
Load Comments

Subscribe Our Newsletter