Halaman

    Social Items

TIDAK MENGHINAKAN ILMU DIDEPAN PENGUASA--Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab علم, masdar dari عَـلِمَ – يَـعْـلَمُ yang berarti tahu atau mengetahui. Secara bahasa ilmu adalah lawan kata bodoh/jahl. Secara istilah ilmu berarti sesuatu yang dengannya akan tersingkap secara sempurna segala hakikat yang dibutuhkan.

Firman Allah :

QS. Al-Gāsyiyah : 21

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan,


Imam "THOWWUS BIN KAISAN" TIDAK MENGHINAKAN ILMU DIDEPAN PENGUASA
  
Di dalam Islam ulama memiliki peran yang sangat vital. Ulama adalah alat kontrol di tengah masyarakat. Sebutan ulama adalah sebutan kemuliaan, karena ia adalah pewaris nabi. Oleh karena itu para salaf betul-betul menjaga kemulian ilmu yang mereka bawa. Di antara bentuk menjaga ilmu yang dicontohkan para salaf adalah dengan tidak menghinakan ilmu di hadapan para penguasa dan tidak tergiur dengan harta dan kehormatan yang ditawarkan penguasa.

Di bawah ini adalah kisah seorang tabi’in yang bernama Thawus bin Kaisan Al-Yamani. Beliau paham betul izzah ilmu ini, sehingga tidak mau menghinakannya di hadapan para penguasa. Hal ini diceritakan oleh Abu Hamid Al-Ghozali di dalam kitab beliau Ihya’ Ulumuddin.

Imam Abu Hamid Al-Ghozali berkata, ”Pernah diceritakan bahwa Hisyam bin Abdul Malik datang ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Ketika ia memasukinya, ia berkata, ’Datangkan padaku seorang shahabat Nabi’. Maka ada yang menjawab, ’Wahai Amirul Mukminin, mereka semua sudah meninggal, tidak ada yang tersisa lagi’. Lalu ia berkata, ’(Kalau begitu) Dari kalangan tabi’in!’

Maka diundanglah Thawus Al-Yamani. Ketika ia sampai ke hadapan Amirul Mukminin, ia menanggalkan alas kakinya di pinggir karpet. Ia juga tidak memberikan salam khusus dengan menyebut gelar Amirul Mukminin. Ia hanya mengatakan, ’Assalamu’alaika, ya Hisyam’. Ia juga tidak memanggilnya dengan nama kunyah-nya (Kunyah adalah panggilan Arab dengan menggunakan abu atau ibnu) , dan langsung duduk di sebelahnya. Lalu bertanya, ’Bagaimana kabarmu, wahai Hisyam?’ Maka kontan Hisyam marah besar, bahkan sampai berniat akan membunuhnya. Lalu ia (Thawus) berkata kepadanya, ’Apa alasanmu melakukan perbuatan ini?’

Ia berkata datar, ’Apakah gerangan yang telah saya perbuat?’ Maka bertambah besarlah kemarahan Hisyam. Ia pun berkata, ’Kamu lepas sandalmu di pinggir karpetku, kamu juga tidak mencium tanganku, salam yang kamu ucapkan juga tidak mengucap kata Amirul Mukminin, kamu juga tidak menyebutkan gelar kunyah-ku, bahkan kamu langsung duduk di dekatku dan menanyakan, bagaimana kamu, wahai Hisyam.”

Maka beliau menjawab, ’Adapun perkataanmu bahwa aku lepas sandalku di tepi karpetmu, maka ketahuilah bahwa setiap hari aku juga melepasnya di hadapan Alloh sebanyak 5 kali, dan Alloh tidak menghukumku ataupun memarahiku. Sedangkan perkataanmu bahwa aku tidak mencium tanganmu, maka saya pernah mendengar Ali bin Abi Tholib berkata, ’Haram bagi seseorang untuk mencium tangan orang lain kecuali tangan istrinya yang ia cium karena dorongan syahwat atau tangan anaknya yang ia cium karena rasa sayang.’ Sedangkan perkataanmu bahwa aku tidak memberikan salam dengan menyebutmu sebagai Amirul Mukminin, maka ketahuilah bahwa tidak semua orang rela dengan kepemimpinanmu, dan aku tidak mau basa-basi dan berdusta di hadapanmu. Adapun perkataanmu bahwa aku tidak memanggilmu dengan julukan kunyahmu, maka sesungguhnya Allah telah memanggil para walinya dengan menyebut, ’Ya, Yahya, Ya Daud, Ya Isa’. Adapun dalam menyebut kunyah musuh-musuh-Nya, Alloh berfirman, ’Tabbat yada abi lahab’. Adapun perkataanmu bahwa aku langsung duduk di dekatmu, maka aku telah mendengar Ali bin Abi Tholib berkata, ’Jika kamu ingin melihat salah seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada orang yang duduk sedang di sekelilingnya banyak orang yang berdiri’.

Maka Hisyam berkata, ’Ia telah memberiku nasihat’.”

Begitulah para salaf mengajarkan kita dalam bersikap terhadap penguasa. Menjauhi pintu-pintu mereka dan tidak tamak terhadap dunia mereka. Salaf paham betul fitnah yang muncul terhadap din mereka jika mereka mendekat-dekat kepada pintu penguasa. Toh, jika mereka terpaksa mendatangi pintu mereka, mereka datang dengan penuh izzah dan kemuliaan tanpa menghinakan diri sebagaimana yang dicontohkan Imam Thowus bin Kaisan Al-Yamani.

TIDAK MENGHINAKAN ILMU DIDEPAN PENGUASA

TIDAK MENGHINAKAN ILMU DIDEPAN PENGUASA--Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab علم, masdar dari عَـلِمَ – يَـعْـلَمُ yang berarti tahu atau mengetahui. Secara bahasa ilmu adalah lawan kata bodoh/jahl. Secara istilah ilmu berarti sesuatu yang dengannya akan tersingkap secara sempurna segala hakikat yang dibutuhkan.

Firman Allah :

QS. Al-Gāsyiyah : 21

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan,


Imam "THOWWUS BIN KAISAN" TIDAK MENGHINAKAN ILMU DIDEPAN PENGUASA
  
Di dalam Islam ulama memiliki peran yang sangat vital. Ulama adalah alat kontrol di tengah masyarakat. Sebutan ulama adalah sebutan kemuliaan, karena ia adalah pewaris nabi. Oleh karena itu para salaf betul-betul menjaga kemulian ilmu yang mereka bawa. Di antara bentuk menjaga ilmu yang dicontohkan para salaf adalah dengan tidak menghinakan ilmu di hadapan para penguasa dan tidak tergiur dengan harta dan kehormatan yang ditawarkan penguasa.

Di bawah ini adalah kisah seorang tabi’in yang bernama Thawus bin Kaisan Al-Yamani. Beliau paham betul izzah ilmu ini, sehingga tidak mau menghinakannya di hadapan para penguasa. Hal ini diceritakan oleh Abu Hamid Al-Ghozali di dalam kitab beliau Ihya’ Ulumuddin.

Imam Abu Hamid Al-Ghozali berkata, ”Pernah diceritakan bahwa Hisyam bin Abdul Malik datang ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Ketika ia memasukinya, ia berkata, ’Datangkan padaku seorang shahabat Nabi’. Maka ada yang menjawab, ’Wahai Amirul Mukminin, mereka semua sudah meninggal, tidak ada yang tersisa lagi’. Lalu ia berkata, ’(Kalau begitu) Dari kalangan tabi’in!’

Maka diundanglah Thawus Al-Yamani. Ketika ia sampai ke hadapan Amirul Mukminin, ia menanggalkan alas kakinya di pinggir karpet. Ia juga tidak memberikan salam khusus dengan menyebut gelar Amirul Mukminin. Ia hanya mengatakan, ’Assalamu’alaika, ya Hisyam’. Ia juga tidak memanggilnya dengan nama kunyah-nya (Kunyah adalah panggilan Arab dengan menggunakan abu atau ibnu) , dan langsung duduk di sebelahnya. Lalu bertanya, ’Bagaimana kabarmu, wahai Hisyam?’ Maka kontan Hisyam marah besar, bahkan sampai berniat akan membunuhnya. Lalu ia (Thawus) berkata kepadanya, ’Apa alasanmu melakukan perbuatan ini?’

Ia berkata datar, ’Apakah gerangan yang telah saya perbuat?’ Maka bertambah besarlah kemarahan Hisyam. Ia pun berkata, ’Kamu lepas sandalmu di pinggir karpetku, kamu juga tidak mencium tanganku, salam yang kamu ucapkan juga tidak mengucap kata Amirul Mukminin, kamu juga tidak menyebutkan gelar kunyah-ku, bahkan kamu langsung duduk di dekatku dan menanyakan, bagaimana kamu, wahai Hisyam.”

Maka beliau menjawab, ’Adapun perkataanmu bahwa aku lepas sandalku di tepi karpetmu, maka ketahuilah bahwa setiap hari aku juga melepasnya di hadapan Alloh sebanyak 5 kali, dan Alloh tidak menghukumku ataupun memarahiku. Sedangkan perkataanmu bahwa aku tidak mencium tanganmu, maka saya pernah mendengar Ali bin Abi Tholib berkata, ’Haram bagi seseorang untuk mencium tangan orang lain kecuali tangan istrinya yang ia cium karena dorongan syahwat atau tangan anaknya yang ia cium karena rasa sayang.’ Sedangkan perkataanmu bahwa aku tidak memberikan salam dengan menyebutmu sebagai Amirul Mukminin, maka ketahuilah bahwa tidak semua orang rela dengan kepemimpinanmu, dan aku tidak mau basa-basi dan berdusta di hadapanmu. Adapun perkataanmu bahwa aku tidak memanggilmu dengan julukan kunyahmu, maka sesungguhnya Allah telah memanggil para walinya dengan menyebut, ’Ya, Yahya, Ya Daud, Ya Isa’. Adapun dalam menyebut kunyah musuh-musuh-Nya, Alloh berfirman, ’Tabbat yada abi lahab’. Adapun perkataanmu bahwa aku langsung duduk di dekatmu, maka aku telah mendengar Ali bin Abi Tholib berkata, ’Jika kamu ingin melihat salah seorang penghuni neraka, maka lihatlah kepada orang yang duduk sedang di sekelilingnya banyak orang yang berdiri’.

Maka Hisyam berkata, ’Ia telah memberiku nasihat’.”

Begitulah para salaf mengajarkan kita dalam bersikap terhadap penguasa. Menjauhi pintu-pintu mereka dan tidak tamak terhadap dunia mereka. Salaf paham betul fitnah yang muncul terhadap din mereka jika mereka mendekat-dekat kepada pintu penguasa. Toh, jika mereka terpaksa mendatangi pintu mereka, mereka datang dengan penuh izzah dan kemuliaan tanpa menghinakan diri sebagaimana yang dicontohkan Imam Thowus bin Kaisan Al-Yamani.
Load Comments

Subscribe Our Newsletter