Halaman

    Social Items

ULAMA YANG SESUNGGUHNYA

ORANG YANG TAKUT PADA ALLOH ITULAH "ULAMA YANG SESUNGGUHNYA"



Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya yang takut kepada Alloh di antara hamba-hamba Nya adalah mereka para Ulama.” (QS. Fathir: 28)

Tafsir Ayat di Atas

Maka sebagai pelaku dalam ayat ini adalah: Para ulama adalah orang yang paling khawatir dan paling takut kepada Alloh. Lafzhul Jalalah (Alloh) sebagai obyek yang didahulukan. Adapun faedah dan fungsi didahulukannya peletakan obyek ini adalah: untuk pembatasan kerja subyek. Maksudnya yang takut kepada Alloh Ta’ala tak lain hanyalah para Ulama. Karena kalau subyeknya yang didahulukan pastilah pengertiannya akan berbeda, dan menjadi, “Sesungguhnya para ulama kepada Alloh,” permaknaan seperti ini tidak dibenarkan, karena artinya ada di antara para Ulama yang tidak takut kepada Alloh.

Atas dasar inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiya berkomentar tentang ayat,  “Hal ini menunjukkan bahwa setiap yang takut kepada Alloh maka dialah orang yang Alim, dan ini adalah haq. Dan bukan berarti setiap yang alim akan takut kepada Alloh.”  (Majmu Al-Fatawa”,  7/539, Tafsir Al-Baidhawi, 4/418, Fathul Qadir, 4/494).

Imam Syafi’i Menolak Pemberian karena Merasa Tak Bertakwa 

Imam Syafi'i mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga hati dari merasa suci.

 Imam Fariduddin ‘Attar mencatat sebuah riwayat yang menceritakan Imam Syafi’i menolak pemberian harta dari seseorang. Berikut riwayatnya: 

 نقل أنّ شخصا من أرباب الأموال بعث مالا كثيرا إلي مكّة, وأمر بصرفها إلي الفقراء, وجاؤوا إلي الشافعي رضي الله عنه ببعضٍ منه, قال: كيف قال صاحبه؟ قيل: إنه قال: إلي الفقراء المتّقين. قال الشافعي رضي الله عنه: أنا فقير غير متّقٍ. ولم يقبل.

 Diceritakan bahwa seseorang yang memiliki harta melimpah mengirimkan banyak harta bendanya ke Makkah. Ia memerintahkan untuk mendistribusikannya kepada orang-orang fakir. Kemudian mereka (orang-orang yang diamanahi) datang kepada al-Syafi’i rodhiyallohu ‘anhu membawa sebagian dari harta tersebut.   Imam al-Syafi’i bertanya: “Bagaimana pesan pemilik hartanya?”   Pertanyaan itu dijawab: “Sesungguhnya ia berkata: ‘(Berikan harta ini) pada orang-orang fakir yang bertakwa.”   Imam al-Syafi’i rodhiyallohu ‘anhu berkata: “Aku memang orang fakir, (tapi) bukan orang yang bertakwa.”   Dan ia pun menolak (pemberian itu). (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i (836 H)

Sebagai hamba, manusia sering lupa kehambaannya. Sebagai makhluk, manusia sering lupa kemakhlukkannya. Begitulah manusia sering merasa. Maka tidak aneh jika banyak manusia yang merasa “suci”, “baik”, “bersih” dan “bertakwa” terhadap dirinya sendiri, tanpa melihat ke dalam dirinya lebih jauh.  
Jika kita bertanya pada diri kita sendiri, ‘apakah kita benar-benar orang baik,’ ‘apakah tidak ada kedengkian di diri kita,’ ‘apakah kita tidak menyembunyikan aib,’ ‘apakah kita tidak pernah melakukan kesalahan,’ tentu kita semua tahu jawabannya. Tidak seorang pun dari kita yang lepas dari semua itu. Alloh berfirman (QS. An-Najm: 32):

  فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ  

“Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”   Dalam Tafsîr al-Qurthubî, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Qurthubi (w. 671 H) menjelaskan ayat di atas dengan mengatakan:

  (فلا تزكوا أنفسكم) أي لا تمدحوها ولا تثنوا عليها، فإنه أبعد من الرياء وأقرب إلى الخشوع. (هو أعلم بمن اتقى) أي أخلص العمل واتقى عقوبة الله  

“(Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci), yaitu jangan menyombongkan diri kalian sendiri dan jangan memuji-muji diri kalian sendiri. Karena itu dapat menjauhkan dari riya’, dan mendekatkan (diri) kepada kekhusyu’an. (Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa), yaitu (orang) yang ikhlas beramal dan takut akan siksaan Alloh” (Imam Abu Abdillah al-Qurthubi). 


 Artinya, ketakwaan seseorang tidak bisa diukur oleh manusia. Tidak ada yang punya wewenang untuk itu, hanya Alloh lah yang berwenang. Karena itu, Alloh mengingatkan manusia untuk jangan memandang suci dirinya sendiri, karena mereka tidak punya pengetahuan akan hal itu. Sebanyak apapun manusia beribadah; sebanyak apapun manusia mengamalkan agamanya, Alloh mengingatkan jangan pernah memandang dirinya suci. Karena itu bisa mendekatkannya kepada riya, ujub dan takabbur, seperti yang terjadi kepada Iblis.   Baca juga: Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa Ujub   Sebab itu, ketika orang yang mengantarkan harta pemberian mendatangi Imam al-Syafi’i, ia bertanya terlebih dahulu ‘apa pesan pemiliknya’. Mereka menjawab: “Untuk dibagikan kepada orang-orang fakir yang bertakwa.” Maka Imam al-Syafi’i menolak dengan mengatakan: “Aku memang fakir, tapi aku bukan orang yang bertakwa.”   

Jawaban Imam al-Syafi’i ini mengandung dua pelajaran penting. 
Pertama, pentingnya menjaga amanah. Imam al-Syafi’i harus memastikan terlebih dahulu syarat yang ditentukan sang pemberi harta. Sebab, syarat itu harus dipenuhi, baik oleh orang yang mengemban amanah, maupun yang menerimanya. Di sini Imam al-Syafi’i tak mau orang yang mengemban amanah itu berdosa karena tidak sesuai dengan syarat yang diberikan oleh sang pemberi amanah.   
Kedua, pentingnya menjaga hati dari merasa suci. Penolakan Imam al-Syafi’i dikarenakan ia merasa tidak termasuk dalam kategori atau syarat yang ditentukan sang pemberi harta. Ia merasa dirinya masih jauh dari ketakwaan. Ia memang fakir, tapi ia bukan orang yang bertakwa. 
Dari penolakannya ini, ia menyelamatkan dua pihak sekaligus, menyelamatkan pembawa amanah dari kesalahan mendistribusikan harta, dan menyelamatkan dirinya sendiri dari harta yang bukan haknya.   Pertanyaannya, siapa kita yang sering memandang diri lebih baik dari orang lain?
Load Comments

Subscribe Our Newsletter